Umum

Umum
Image

Rabu, 15 Desember 2010

REVEW DISKUSI Judul Buku FEELING THREATENED MUSLIM CHRISTIAN RELATIONS IN INDONESIA’S NEW ORDER

A. Latar Belakang
Peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik sudah lama dipertanyakan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia yang menghuni muka bumi ini begitu heterogen terdiri dari berbagai suku, etnis, ras, penganut agama, kultur, peradaban dan sebagainya. Samuel P. Huntington mengatakan bahwa perbedaan tidak mesti konflik, dan konflik tidak mesti berarti kekerasan. Dalam dunia baru, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antar kelas sosial, antar golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda.
Namun, selama berabad-abad, perbedaan entitas budaya dan agama telah menimbulkan konflik yang paling keras dan paling lama, paling luas, dan paling banyak memakan korban. Dalam citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan dan kekerasan. Agama dan budaya telah menjadi tirani, dimana atas nama Tuhan dan suku bangsa, orang melakukan kekerasan, menindas, melakukan ketidakadilan dan pembunuhan.
Begitu juga halnya dengan Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama, suku bangsa dan budaya. Bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan budaya yang beragam, Indonesia sangat membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, dan seterusnya guna menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan tertram dalam bingkai masyarakat dengan budaya multikultural. Namun, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari harapan kemanusiaan. Sangat sering kita saksikan adalah masyarakat yang cendrung terjebak dalam sikap agresif, diskriminatif, konflik sosial, agama, kritis politik, ekonomi dan budaya. Kondisi ini semakin menggurita di negeri kita. Salah satu persoalan penting yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana solusi agar problem-problem tersebut dapat diminimalisir?.
A. Permasalahan
1. Feeling Threatened Muslim Christian Relations In Indonesia’s New Order
Mengenai konflik antara islam kristen pada masa orde baru yaitu wacana kaum muslimin tentang ancaman kistenisasi bangsa indonesia secara umum, dari kalangan kristen berkembang wacana ancaman negara islam, dan kemudian menjadi wacana bersama antara kaum muslim dengan kristen yang kelanjutannya dikembangkan mealalui dialog antar agama.
Adapun wacana yang paling dominan pada masa orde baru yang mewarnai hubungan muslim kristen tersebut yakni kristenisasi dan ancaman terhadap negara islam, dari wacana yang berkembang seiring dengan perkembangan politik bangsa indonesia sejak ahir 1965 hingga jatuhnya orde baru tahun 1998. Wacana kaum muslim tentang ancaman kristenisasi erat kaitannya dengan perkembangan politik pada masa itu (naiknya Orde baru), yang ditandai dengan kalah dan gagalnya kup 30 september (Gestapu) telah menandai kemenangan politik tentara atas saingan politik mereka yang dianggap paling kuat yakni PKI. Kemenagan politik tentara tidak semata-mata atas usaha tantara itu sendiri, tapi ada dukungan dan bantuan dari kelompok muslim yang sama-sama tidak menyukai PKI.
Menurut catatan sejarah soeharto berhasil mengalahkan Gestapu, dimana terjadinya pembantaian terhadap orang-orang PKI atau mereka yang dicurigai sebagai pendukung PKI. Pembasmian PKI dilakukan secara fisik kemudian dilakukan pembungkaman ideologis, adapun pengertian ideologi, adalah sistem keprcayaan dan membenarkan suatu tatanan politik ada atau dicita-citakan dan memberi prosedur rancangan, instruksi, ide norma, keprcayaan dan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan menentukan tingkah laku politik. Dalam kaitan ini agama bukanlah ideologi, sebaliknya ideologi bukanlah agama. Tetapi untuk mencapai tujuannya terkadang agama mewujud atau dielaborasi sebagai suatu ideologi, sebaliknya ideologi menggunakan suatu agama dalam tataran praktis, meskipun pada pihak lain menolak antara keduanya saling berkolerasi.
Setelah melakukan pembungkaman ideologi tersbut kemudian dilanjutkan dengan penetapan Tap MPRS pada tahun 1966 yang berisi plarangan terhadap PKI dan larangan menyebarkan ajaran komusime/marxisme-keninisme. Dalam Tap MPRS 1966 ini disebutkan bahwa komunisme dilarang karena banngsa indonesia adalah bangsa yang mempercayai adanya tuhan dan bangsa yang beragama, dengan kata lain PKI dilarang karena tidak bertuhan dan beragama yang bertentangan dengan pancasila terutama sila pertama.
Pembasmian fisik dan pembungkaman ideologis terhadap PKI ini berdampak pada meningkatnya jumlah orang yang masuk agama resmi di tahun pertama orde baru, dimana mereka yang banyak ikut adalah dari kalangan orang-orang jawa yang tergolong abangan, yakni orang yang dalam beragama lebih cenderung sinkretis dan walaupun secara formal mereka mengaku muslim, mereka tidak memperaktikkan ajaran islam itu sendiri. Kemudian mereka yang tergolong abangan ini banyak mendaftarkan diri mereka menjadi penganut salah satu agama resmi saat itu yakni agama islam, protestan, katolik, budha, dan konghucun tahun 1979.
Meskipun demikian agama-agama resmi mendapatkan keuntungan dari situasi politik tersebut, orang-orang lebih banyak mendaptarkan diri ke gereja untuk menjadi kristen pada saat itu, orang yang masuk kristen kurang lebih dua juta orang, kegembiraan dari kalangan kristen meluap-luap baik yang di indonesia maupun yang di luar negeri. Seorang pendeta meluapkan harapan di kalangan kristen saking banyaknya orang masuk kristen pada saat itu, “mengatakan bahwa tidak lama lagi seluruh bangsa indonesia akan menjadi pengikut yesus”. Optimisme yang sama juga dari seorang misionaris asing (Avery T. Wilis) yang menulis buku majalah terbitan amerika bahkan dengan bangga mengirimkan ratusan ribu dollar ke indonesia untuk kepentingan misi kristen, sebaliknya meskipun banyak juga yang mendaftarkan diri menjadi muslim, para pemimpin kaum muslim saat itu berada dalam frustasi politik. Ketika PKI menjadi musuh bersama tentara memang sangat dekat dengan dengan kelompok-kelompok islam, akan tetapi setelah PKI disingkirkan tentara menggap kelompok muslim menjadi rival politik mereka yang harus disingkirkan. Buktinyata sikap negatip tentara terhadap kelompok islam adalah gagalnya rehabilitasi partai masyumi.
Apabila dikaitkan dengan wacana di atas wacana kekerasan fisik sebagai rekasi perang (kecaman) yang terjadi, dimana indikator keterlibatan unsur agama dalam peperangan dapat dikemukakan sebagai berikut (Moh. Nurhakim):
1) Pelopor dan pelaku dan agen perang dan pemberontakan adalah elit-elit agama seperti kiai, dan para uztaz, mereka menjadikan kesadaran agama sebagai doktrin-doktrin agama dipergunakan suntuk memaknai tindakan, baik itu tindakan sendiri maupun tindakan lawan. Karenanya mereka namai dengan jihad, perang sabil, dan mmati sahid.
2) Agama dijadikan simbol misalnya, Lailahaillah
3) Kepemimpinan dan organisasi lebih memperlihatkan corak keagamaan yang berciri karisma , kepatuhan, identitas, kepatuhan solidaritas, dan kejama’ahan.
Dalam konteks wacana sosial politik seperti itulah bergulir wacana di kalangan muslim tentang acaman kristenisasi, masalah ini berkembang mulanya pada interprestas yang dikemukakan parkindo dan partai katolik di parlemen tahun 1967. Mengenai kasus penutupan greja metodis yang pembangunannya baru rampung di meulaboh aceh. Menurut orang kristen tindakan islam di meulaboh terhadap penutupan greja itu bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin dalam undang-undang dasar. Sebagai reaksi, partai islam di parlemen membalas interpelasi ini dengan mengajukan interpelasi mengenai bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di indonesia, menurut para politis muslim semua bantuan luar negeri harus dikontrol oleh pemerintah.jawaban pemerintah terhadap kedua interpelasi ini masih mengambang, meskipun pada dasarnya cencerung pada tuntutan kelompok mayoritas, yakni kelompok muslim.
Banyak rentetan peristiwa yang terjadi setelah kasus maulaboh di atas adalah bahwa nacaman kristenisasi melahirkan wacana baru yang diwujudkan berupa tuntutan orang islam kepada pemertintah diantaranya:
1. Pembatasan penyiaran agama hanya kepada mereka yang belum beragama yakni yang belum masuk salah satu agama resmi pada saat itu.
2. Pengaturan tentang pembangunan tempat ibadah.
3. Kontrol pemerintah terhadap bantuan luar negeri untuk lembaga-lembaga keagamaan.
4. Larangan kawin atar agama.
5. Murid-murid di sekolah harus diberi pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan guru yang seagama, dan.
6. Larangan terhadap melakukan natal bersama.
Hampir semua tuntutan kaum muslimin ini dipenuhi pemerintah mmelalui ketetapan menteri atau undang-undang, kecuali berkaitan dengan kawin antar agama dan natal bersama. Mengenai kawin antar agama, undan-undang perkawinan tidak pernah secara resmi melarangnya namun prosesnya cendetung dipersulit. Mengenai natal bersama MUI jelas mengharamkannya sehingga sempat menimbulkan ketegangan dengan pemerintah yang berujung pada pengunduran diri ketua MUI (Buya Hamka). Tapi kemudian pemerintah memilah antara yang ritual dengan yang non-ritual dalam perayaan natal.
Kalau kaum muslim takut pada ancaman kristenisasi, maka dikalangan orang-orang kristen khawatir dengan ambisi kaum muslim untuk menjadikan indonesia sebagai negara isla. Bagi orang kristen hidup dibawah naungan negara islam berarti hidup sebagai warganegara kelas dua (minoritas). Kekhawatiran umat kristen sebenarnya sudah lama sejak PPKI membicarakan rancangan Undang-Undang dasar tahun 1945. Menurut sejarah demi menjaga persatuan, maka rancangan UUD yang dibuat BPUPK kemudian direvisi, yaitu dengan dihapuskannya syarat bahwa presiden RI beragama islam, dan yang lebih penting dihapuskannya “Tujuh kata” (kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya) dari piagam jakarta.
Disisi lain para pemipin kristen secara konsisten menolak sikap akomodatif pemerintah terhadap tentuan kaum muslim di atas dengan argumen bahwa semua tuntutan itu jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dimuat dalam UUD 1945 pasal 29. Kriti-krritik kaum kristen ini kemudian membuat pemerintah merasa longgar dalam menerapkan aturan-aturan yang ada. Ambiguitas pemerintah ini pada gilirannya berujung pada ketidak puasan yang berlarut-larut baik dari kalangan muslim dan kristen. Dengan kata lain meskipun pemerintah mencoba mengakomodasi kedua belah pihak, kemudian persoalan yang menggajal diatara kaum muslim dan kaum kristen, yakni yakni soal ancaman kristenisasi versusu kebebasan beragama, tatap saja tidak pernak mendapatkan penyelesaian yang benar-benar tuntas.
Pada masa demikrasi terpimpin, ideologi soekarno ingin menggabungkan tiga ideologi yang disingkat dengan NASAKOM (nasionalis, Agama, Komunis). Tapi ideologi ini tidak bisa bertahan lama, ditunjukkan dengan kegagalan kup, ideologi komunis secara politik benar-benar hancur, maka muncul optimisme tinggi dikalangan pimpinan muslim bahwa perjuangan ideologi yang dicanangkan sampai pada momentumnya, akan tetatapi tentara yang sudah mulai berkuasa menolak dengan tegas keinginan ideologi tokoh-tokoh islam tersebut dalam konteks perang ideologi, dengan demikian kristen bergabung dengan tentara dan kaum nasionalie sekuler. Maka dalam perdebatan mengenai kedudukan piagam jakarta pada tahun 1968-1969, tidak sedikit para penulis kristen yang mendoba melancarkan argumen-argumen yang dikemukakan muslim pendukung piagam jakarta, bahkan ada dikalangan kristen mengusulkan agar pemerrintah menghapus Departemen Agama.
Kerjasama yang dilakukan aktivis kristen dengan tentara politik dalam hal ini umat kristen tampak lebih menjaga jarak dengan pemerintah pada masa itu dari pada katolik, diamana ada salah satu kelompok penting di kalangan aktivis katolik menpunyai hubungan yang dekat terhadap rezim orde baru yakni staf presiden Moertopo dan Soedjono Hoemardani kemudidan memainkan perannya di tiga lembaga penting:
1. Partai pemerintahan golkar
2. Lembaga intelijen negara yang disebut ‘opsus’ (operasi khusu)
3. Tanki pemikirann yang diberi nama Center for Strate gic and International Studies (CSIS). Meskipun dalam kenyataannya CSIS pada tahun 1980 lebih merepresentasikan negara ketimbang Gereja Katolik
Dalam pandangan umat islam CSIS tidak lebih hanya konspirasi antara perdebatan mengenai rancangan undang-undang perkawinan (RUUP), kemudidan beredarlah isu dikalangan islam mengena RUUP yang diajukan pemerintah (yang isinya sangan sekuler dan ada beberapa pasal jauh bertentangan dengan hukum islam yang sebenarnya dibuat oleh orang-orang CSIS. RUUP kemudian ahinya direpisi berkenaan dengan tuntutan umat islam, tapi tidak menghilangkan ingatan para pemimpin islam terhadap peranan CSIS dalam pembentukan RUUP, sebagaimana Daoed Joesoef, seorang muslim bekerja di CSIS, diangkat menjadi Mendikbut (1978-1983), beberapa kebijakannya yang dianggap melawan islam seperti tidak adanya libur Ramadhan, dan keinginannya untuk menggantikan pelajaran agama dengan perbandingan agama, dalam pandangan pmpinan islam tidak lain dari egenda kepentingan kristen di tuangkan melalui CSIS. tapi perlu diketahui bahwa tidak semua dari kalangan katoik apa yang dilakukan para aktivis politis CSIS. terbukti dengan adanya isu yang beredaarperan orang katolik di balik RUUP 1973, yang di muat majalah tempo dimana ditulis oleh wartawan yang juga aktivis katolik, George Aditjonro melaporkan adanya gerakan didalam gereja yang melakukan kerjasama dengan kaum muslim, gerakan ini lebih berorientasi pada kultural ketimbang politik, bahkan ada pastur yang mengusulkan agar pelajaran katolik dihapuskan terhadap siswa yang beragama islam disekolah katolik. Ini salah satu bentuk penentangan terhadap politik ala CSIS yang jumlahnya pendukungnya sangat banyak.
Pada masa Soeharto roda politik orde baru terus berjalan sampai menjelang tahun 1980 soeharto mulai mendekati kelompok islam, yang dipandang sebagai alasan Soeharto terhadap pergeseran sikap politik, ada yang menyatakan bahwa pada saat itu terjadi ketegangan antara Soeharto dengan beberapa jenderal, dimana ketegangan itu muncul yang disebab oleh marahnya para jenderal karena lahan bisnis mereka mulai diganggu oleh anak-anak presiden, pendapat lain mengatakan kenapa Soeharto mulai mlirik islam dikarenakan bahwa pada saat itu secara kultural masyarakat indonesia banyak yang menganut agama islam (agama mayoritas). Da juga yang beranggapan bahwa ancaman islam sebagai ideologi sudah berlalu dengan penerimaan asas tunggal pancasila oleh ormas-ormas islam terkemuka yaitu, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Adapun alasan politik yang sebenarnyapemerintah tampaknya lebih akomodatip terhadap tuntutan kaum muslim pada tahun 1980-1990 awal. Dimana pada tahun 1989 partai pemerintah, Golkar, mendukung beberapa tuntutan kelompok islam dalam UU sistem pendidikan nasional, seperti menjadikan pelajaran agama sebagai pelajaran wajib, pengakuan madrasah sejajar dengan sekolah umum, dan mengenai pelajaran agam harus diajarkan oleh gusu yang seagama.
Pada tahun 1989 pemerintah mendukung penuh kewenangan UU peradilan agama mengenai hukum keluarga bagi kaum muslim yang selama ini dibawah peradilan umum. Berlanjut pada tahun 1990 pemerintah mendukung berdirinya ICMI, Bank Muamalat, Harian Republika dan Majalah Umat. Dan pada akhirnya keluarga besar presiden melakukan ibadah haji. Dalam situasi seperti ini kaum minoritas khusunya kelompok kristen menjadi takut dan was-was. Para pemimpin kristen dengan tegas menentangnya, demikian halnya dengan dukungan pemerintah terhadap UUPA, baik dari kalangan kristen dan katolik menentang dan menilai UUPA sebagai langkah menuju negara islam. Dari peristiwa ini sebagian dari orang ICMI berpendapat bahwa pada saat itu adalah momen dimana kaum muslimin dapat membalas kaum kristen. Kesimpulannya adalah perubahan aliansi politik pemerintah tidak mengubah rasa saling curiga di kalangan dua kelompok agama ini (Islam dan Kristen).
Selain wacana yang berkembang di atas (yakni ancaman kristenisasi dan ancaman negara islam), ada juga wacana yang berkembang melalui apa yang dikenal dengan dialog antar agama, pada tahun 1960 lembaga-lembaga kristen ditingkat internasional mengajak agama lain untuk berdialog antaragma, dan hal yang sama yang diserukan oleh persekutuan greja-grejaprotestan di dunia, World Council of churches (WCC). Memang ada perubahan sudut pandang tentang bagaimana misi harus dilakukan dikalangan kristen pada saat itu, disisi lain dalam rangka mengatasi keteganagan muslim kristen yang tengah terjadi saat itu. Pada tahun 1967 di masa orde baru pernah mengadakan dialog pertama kali antar agama atas inisiatip pemerintah yang disebut dengan “musyawarah antar agama”. Musyawarah ini memang tidak berhasil membuat kesepakatan yang berarti. Latar belakang dari dialog antar agama adalah munculnya pandangan islam non ideologis, seperti pada masa awal orde baru kelompok islam kembali bersemangat memperjuangkan ideologi islam (tepatnya pada piagam jakarta). Tapi gagal disebabkan pertentangan terhadap politik tentara.
Akhirnya sampailah pada akhir penganalisisan dalam buku ini yang berjudul “Feeling Threatened Muslim Christian Relations In Indonesia’s New Order”, “Perasaan Ancaman Hubungan Antara Muslim-Christian Dalam Indonesia Pada Masa Orde Baru. Dapat disimpulkan bahwa kebebasan beragama di indonesia tidak terlepas dari penganut agama itu adalah masalah yang rumit dan konpleks, dimana agama adalah persoalan politik yang mencakup problem interprestasi ideologi pancasila dan undang-undang hukum negara indonesia, keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah hingga berbagai pandangan teologi kelembagaan beragama yang ada. Permasalahan antara isu kristenisasi dan isu akan terciptanya pemerintahan islam di indonesia tidak terlepas dari problem kebebasan menyiarkan agama, kebebasan beribadah, kebebasan mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama di sekolah, kebebasan menerima bantuan dari luar negeri dan kebebasan kawin antaragama, mengenai wacana tersebut pada dasaranya sangat erat hubungannya dengan ideologi negara kita yang dimana pemerintah memilih jalan tengah, bahwa negara indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan negara agama, melainkan negara pancasila.
B. Analisis pendekatan
Analisis wacana kritis (disingkat AWK) menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan cultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Yang membingungkan, label “analisis wacana kritis” Norman Fairclough (1995).
Analisis wacana ini pada mulanya dikembangkan oleh filosof perancis, Michael Foucault dan kemudian dipakai dalam kajian-kajian soasial. Untuk menerapkannya dalam kajian agama dengan menelaah apa yang dikatakan siapa, dimana dan kapan serta dalam konteks relasi kuasa yang bagaimana, yang berkaitan dengan wacana-wacan teologis. Analsis wacana ini juga pas dalam meneliti sosial agama. Adapun data analisis wacana diperoleh dari media cetak berupa laporan majalah, koran dan buku, disamping pidato dan surat-surat resmi.
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Adapun karakteristik dari pendekatan fenomenologi adalah pentingnya netralitas dan lebih ditekankan kepada upaya pemahaman seseorang pengkaji terhadap agama yang dianut seseorang atau pihak lain. Sebagaimana dikuti oleh H.Akh. Minhaji sebagaimana berikut:
Seorang pengkaji diharapkan untuk mengesampingkan pemahaman dan komitemen terhadap agama yang dianut, dan pada waktu yang sama mencoba mendekati agama orang lain tersebut berdasarkan pemahaman dan pengalaman penganut agama itu sendiri. Ini didasarkan pada asumsi bahwa prinsip umum dalam studi agama adalah suatu kajian berdasarkan pengalaman, perasaan, perkataan, dan perbuatan penganut agama, sekaligus bagaimana makna bagi dirinya.

Ini membuktikan bahwa pendekatan penomenologi dikenal dengan epoche berbeda dengan pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang menjadi karakteristik studi agama, dalam hal ini pengkaji memahami agamamenggunakan hasil kajian disiplin-disiplin lain seperti, sejarah, pilologi, arkeologi,studi literatur, psikologi, sosiologi dan antropologi.


Daftar Pustaka

Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, (Penerjemah Satrio Wahono, Muhammad Helmi, dan Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, Bandung: Mizan, 2001)
Mujiburrahman. Feeling Threatened Muslim Christian Relations in Indonesia’s New Order. (Leiden: Amsterdam University Press, 2006)
., Mengindonesiakan Islam Representasi Dan Ideologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008)
Prof.Drs. H. Akh. Minhaji, M.A. Ph.D. Sejarah Sosial Dalam Studi Islam (Teori, Metodologi Dan Implementasi), (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2010)
http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/09/analisis-wacana-kritis/
http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.(2010)
Moh. Nurhakim, 2005. Islam Responsif, agama ditengah pergulatan ideologi budaya global. ( Malang: UMM Press)
Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Penerjemah M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam, 2000)