Umum

Umum
Image

Selasa, 21 Desember 2010

Qasas (Kisah) Alqur’an

MAKALAH DISKUSI
Qasas (Kisah) Alqur’an
DOSEN PENGAMPU
Sukamto
Disusun Oleh :
MUH. ZAKARIKA
ADI BIN SLAMET
PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2010

A. Pendahulaun
Al-Qur’an merupakan Huda (petunjuk) bagi manusia, artinya ajaran yang disampaikannya merupakan pesan dan nasihat-nasihat sehingga menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam membentuk pribadi manusia dari dahulu sampai dengan sekarang. Kisah-kisah dalam Al-qur’an itu sarat sekali dengan pesan dan nasihat, baik secara tekstual maupun konteksual. Dalam menyampaikan pesan dan nasihat-nasihat-nya, tidak selalu disampaikan dengan jelas dan gamblang, kadang penyampaiannya berupa sebuah kisah yang harus dikaji terlebih dahulu atau dianalogkan dengan kejadian saat ini.
Fenomena kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang diyakini kebenarannya sangat erat kaitannya dengan sejarah. Menurut As-Suyuthi, kisah dalam al-Qur’an sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari sejarah, lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan Al-Qur’an. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran kepada ummat manusia dan bagaimana mereka menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah. Hal ini dapat dilihat bagaimana Al-Qur’an secara eksplisit berbicara tentang pentingnya sejarah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 140 :

B.Kisah-Kisah Al-Qur’an
1.Arti qasas
Kata “kisah” adalah bentukmas dar dari kata kerja dasar qasas , yang berarti ceritera, atau riwayat. Orang Arab kuno menggunakan kata ةصق (qissah)
untuk nama-nama, seperti ربخلا (al-khabar) ري سلا (al-siyar) dan ةفارخلا (al-khirafah). Dalam perkembangannya orang Arab menggunakan kata ini dalam banyak arti. Salah satu diantaranya ialah nama bagi salah satu cabang seni sastra. Kisah yang paling pertama terkodifikasi di kalangan orang Arab adalah kisah kisah yang dikemukaan olah al-Qur’an terhadap umat-umat terdahulu. Kisah dalam arti leksikal dapat bermakna ثدحلا (cerita) yaitu salah satu bagian dari kesusastraan dan juga dapat berarti (melacak jejak).
Dalam uraian diatas, tampak bahwa kata (qissah) mempunyai dua makna leksikal yaitu ثدحلا (cerita) dan ر ٔ ا عب ت (melacak jejak). Kedua pengertian bahasa ini tidak bertentangan, mengingat bahwa (qissah) berarti cerita, karena kisah bercerita atas seseorang atau peristiwa. Apakah orang itu memang pernah ada atau tidak. Apakah peristiwa itu memang pernah terjadi atau tidak. Demikian juga pengertian melacak jejak, karena yang diceritakan oleh seorang pencerita dalam suatu kisah, pada umumnya merupakan suatu gambaran kejadian yang pernah terjadi di masa lampau.
Untuk menetapkan pengertian kisah menurut al-Qur’an, maka terlebih dahulu kita harus melihat penggunaan kata qissah yang terdapat dalan al-Qur’an. Sesuai dengan informasi al-Mu’jam al-mufahras li alfaz al-Qur’an, digunakan kata qissah (ةصق) pada 30 tempat atau ayat. Hampir semua term qissah dalam ayat-ayat tersebut mengacu pada pengertian cerita atau kisah. Menurut Mannaal-Qattan, yang dimaksu dqissah al-Qur’an adalah berita atau sejarah tentang keadaan umat-umat terdahulu dan nabi-nabi yang telah lalu dan merupakan peristiwa yang benar-banar telah terjadi.
Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi kumpulan firman Allah adalah bersifat mutlak datang dari Tuhan. Dengan demikian, apa yang terdapat di dalamnya termasuk yang berbentuk kisah merupakan kebenaran yang mutlak, meski hal ini berbau keyakinan.
2. Macam-macam qasas dalam Alqur’an
Dalam al-Qur’an dijumpai berbagai macam kisah. Jika diteliti dari 6236 ayat, terdapat sekitar 1600 ayat yang berisi kisah atau cerita. Jumlah 1600 ayat tersebut hanyalah ayat-ayat yang berisi kisah sejarah, seperti kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah seta umat-umat terdahulu. Apabila dimasukan juga kisah-kisah tamsiliyah atau perumpamaan atau usturah (legenda) tentu akan lebih banyak lagi jumlahnya. Yang paling banyak jumlahnya diantara kisah tersebut adalah kisah nabi-nabi dan rasul-rasul Allah. Dari segi pengungkapannya, maka kisah-kisah dalam al-Qur’an dapat dibedakan atas (Jurnal Al-Fannun Qasasiy Fil Qur’an):
1) Kadang-kadang Allah menyebut suatu kisah berulang-ulang dalan uslub yang berbeda tanpa memberi kesan yang membosankan. Bentuk yang seperti ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan kandungan dan pengajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang kadang- kadang tidak dapat menerima jika hanya satu kali diajak. Karena itu kadang- kadang dijumpai dalam al-Qur’an kisah seorang nabi yang disebut dalam banyak surah.
2) Kadang-kadang pula Allah menyebut suatu kisah dalam satu surah tertentu, seperti kisah Nabi Yusuf yang hanya disebut dalam Surah Yusuf (11-12).

     •               


Mereka berkata: "Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya. biarkanlah Dia pergi bersama Kami besok pagi, agar Dia dapat bersenang-senang dan dapat bermain-main, dan Sesungguhnya Kami pasti menjaganya."
Disamping itu, masih ada lagi bentuk-bentuk lain pengungkapan kisah dalam al-Qur’an, khususnya jika diperhatikan urutan-urutan permasalahan yang dikemukakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayid Qutb.
1) Pengungkapan kisah dimulai dengan menyampaikan terlebih dahulu intisari atau ringkasan kisah. Setelah itu, diuraikan perincian dari awal sampai akhir. Cara yang seperti ini dapat dilihat dalam kisah Ashab al-Kahfi.
2) Pengungkapan kisah dimulai dari akhir cerita dan pelajaran yang dapat diambil. Kemudian kisah itu kembali diulang dari awal hingga akhirnya secara rinci sesuai dengan urutan peristiwanya. Cara seperti ini dijumpai dalam kisah Nabi Musa dengan Fir’aun dalam surah al-Qasas (28).
3) Kadang-kadang pula suatu kisah diuraikan secara langsung tanpa didahului oleh pendahuluan dan kesimpulan. Metode seperti ini dapat dilihat dalam kisah Maryam di saat kelahiran Nabi Isaal-Masih.
4) Suatu kisah diungkapkan seperti drama. Dengan cara ini, al-Qur’an memulai suatu kisah dengan beberapa kata. Setelah itu, kisah tersebut berbicara sendiri melalui tokoh-tokohnya. Contoh ini dapat dilihat dalam kisah Nabi Ibrahim dengan Ismail ketika membangunKa’bah.
Ditinjau dari segi isi dan kandungannya, kisah yang terdapat dalam al- Qur’an dibedakan atas :
1) Kisah para nabi dan rasul. Kisah seperti ini berisi gambaran seruan para nabi dan rasul kepada kaumnya terhadap kebenaran. Dalam kisah kadang-kadang juga dikemukakan mukjizat yang diberikan kepada para nabi, sebagai pembuktian kenabian dan kerasulan mereka serta untuk melumpuhkan kesombongan mereka yang menentang. Dalam kisah juga diungkapkan pengembaraan para nabi untuk menyebarkan dakwah mereka. Dalam kisah juga digambarkan keberuntungan bagi mereka yang memperkenankan seruan serta kebinasaan bagi mereka yang menentang.
2) Kisah yang berhubungan dengan kejadian-kejadian masa lampau, khususnya yang menerangkan keadaan orang-orang yang tidak mematuhi dan tidak mau menerima kepada apa yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Misalnya kisah orang-orang yang mengusir rasul atau nabi dari tanah air mereka.
3) Kisah yang ada sangkut pautnya dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw.
3. Manfaat qasas Alqur’an
Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara berurutan (kronologis) dan tidak pula memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar. Al-Qur’an juga mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan disebutkan dalam Al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Disatu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang ditempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang secara panjang lebar. Hal ini menimbulkan perdebatan dikalangan orang-orang yang meyakini dan orang-orang yang menentang dan meragukan Al-Qur’an. Mereka yang meragukan seringkali mempertanyakan, mengapa kisah-kisah tersebut tidak tersusun secara kronologis dan sistematis, sehingga lebih mudah dipahami.
Sesuai dengan persoalan di atas menurut Manna’Khalil Al-Qaththan, bahwa penyajian kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang demikian itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya: Pertama, Mengokohkan kewahyuan al-Qur’an dan risalah Muhammad saw. bahwa seorang nabi yang tidak tahu menulis dan membaca. Kedatangannya dalam kisah al-Qur’an menjadi bukti atas kewahyuan al-Qur’an. Hal tersebut kadang-kadang dinashkan sendiri oleh al-Qur’an pada awal atau akhir kisah. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa permulaan beberapa kisah. Kedua, Sebagai keterangan bahwa sesungguhnya semua agama berasal dari Allah. Mulai dari masa Nabi Nuh sampai Muhammad, semuanya berasal dari Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang beriman dari masa Nuh sampai masa sekarang ini merupakan satu umat yang menyembah hanya satu tuhan yaitu Allah. Hal ini dapat kita lihat pada Surah al-Anbiya (21): 48, 49, 50, 51, 52. Ketiga, Sebagai keterangan bahwa semua agama mempunyai kesatuan asas atau dasar. Hal tersebut banyak digambarkan melalui kesamaan akidah para rasul Allah, yaitu konsep keimanan kepada Allah. Keempat, menjelaskan bahwa sesungguhnya jalan atau cara para nabi melaksanakan dakwahnya adalah satu atau sama. Kelima, Menjelaskan bahwa hubungan antara agama Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim lebih dekat dan lebih khusus jika dibandingkan dengan agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi yang lain. Hal ini dapat disaksikan secara berulang-ulang pada kisah Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa. Keenam, Sebagai pembenar akan hal-hal yang mengembirakan dan menakutkan. Hal ini dibuktikan dengan mengemukakan kenyataan sebagai contoh, Ketujuh, Untuk menjelaskan nikmat Allah kepada para nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Hal ini dapat dilihat pada kisah Sulaiman, Kisah Daud, Kisah Ayyub, Kisah Ibrahim, Kisah Yunus dan Kisah Musa. Kedelapan, Untuk memberi peringatan kepada anak cucu Adam akan bahaya pengaruh setan sebagai musuh yang kekal bagi mereka.
Dengan pandangan bahwa al-quran adalah esensi pesan tuhan yang harus diaplikasikan oleh umat islam kapanpun dan dimanapun, bertujuan untuk menunjukkann bahwa ketetapn-ketetapan dalam al-quran itu rasional dalam kehidupan umat islam sepanjang masa, yang sesuai dengan moto Al-Quran shahih li-kulli zaman wa-makan arti literal dari apa yang tersurat secara jelas dalam Al-Qur’an.
4. Pengulangan qasas
Sebagaimana kita pahami bahwa al-quran mengandung berbagai kisah yang sifatnya berulang-ulang di beberapa tempat. Kadang Al-qur’an dalam pengulangannya mengisahkan dalam bentuk yang berbeda, seperti pengulanagan tersebut ada bagian yang didahulukan dan dibagian diakhirkan. Daiantaranya mengetahui makki dan madani dengan dua cara yaitu: Manhaj sima'I an Naqli dan Manhaj Qiyasi ijtihadi bersandar pada ciri makki dan madani. disandarkan pada hadist yang shahih dari para shahabat yang hihup pada saat menyaksikan turunnya wahyu, dari para tabien yang menerima dan mendengan rkan dari para shakhabat. (sebagian besar manhaj ini digunkan).
Ketika membahas tentang qashash dalam al-Qur’an, ulama ternyata tidak hanya terpaku pada informasi yang terdahulu. Qashash juga mencakup “kisah” yang sedang terjadi di masa teks al-Qur’an turun, yaitu masa kehidupan Rasulullah Saw. Al-Qatthan misalnya menyebutkan tiga pola, pertama, kisah para Nabi, proses dakwah, mukijzat, adanya pertentangan, dan “akibat” yang dituai di dunia bagi mereka yang beriman atau tidak. Kedua, kisah realitas terdahulu, kejadian-kejadian, dan tokoh-tokoh dunia yang bukan Nabi atau Rasul. Dan Ketiga, kisah yang terjadi di masa Rasulullah Saw.
Ketiga pola tentu saja adalah realitas yang benar-benar terjadi. Gerak realitas yang sesungguhnya terkisahkan persis seperti yang tertulis secara “baku” di Lauh Mahfudz yang kemudian turun kepada kita dalam bentuk teks. Sebagai contoh pada pola pertama misalnya, al-Qur’an menceritakan kisah Nabi ‘Isa sebagai Nabi dengan misi yang sama dengan misi al-Qur’an. Isa menyatakan dengan tegas bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas yang dipatuhi oleh seni, tanpa harus memeganginya sebagai kebenaran sejarah. Ia sejalan dengan kisah seorang sastrawan yang mengisahkan suatu peristiwa secara artistik. Bahwa Al-Qur’an telah menciptakan beberapa kisah dan ulama-ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah Qur’ani ini sebagai sejarah yang dapat dipegangi.
Kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an tentu saja tidak dapat dianggap semata-mata sebagai dongeng, apalagi Al-Qur’an adalah kitab suci yang berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering timbul perdebatan, Sebagai kitab suci, Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah sehingga tidak adil jika Al-Qur’an dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada didalamnya tidak dipaparkan secara gamblang. Akan tetapi berbeda dengan cerita fiksi, kisah-kisah tersebut tidak didasarkan pada khayalan yang jauh dari realitas.
Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situs-situs sejarah bangsa Iran yang di identifikasikan sebagai bangsa ‘Ad dalam kisah Al-Qur’an, Al-Mu’tafikat yang di identifikasikan sebagai kota-kota palin, Sodom dan Gomorah yang merupakan kota-kota wilayah Nabi Luth. Kemudian berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai Fir’aun yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Disamping itu memang terdapat kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk di deteksi sisi historisnya, misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj dan kisah Ratu Saba. Karena itu sering di sinyalir bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu ada yang historis ada juga yang a-historis. Meskipun demikian, pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk dijadikan bahan penyelidikan menurut kacamata pengetahuan modern, misalnya mengenai raja-raja Israil yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Karena itu sejarah serta pengetahuan lainnya tidak lebih merupakan sarana untuk mempermudah usaha untuk memahami Al-Qur’an.
5. Nilai pendidikan dan Qasas Alqur’an
Sebagaimana yang sudah di bahas pada bagian sub di atas qasas dalam al- quran miliki banyak nilai baik pendidikan, sejarah, hukum, sosial dan ketauhitan (teologi). Bahwa ajaran al-Quran harus dipahami dan ditafsikan dan diaplikasikan pada masa kini, dimana al-Qur’an di trunkan kepada Nabi Muhammad dan di sampaikan kepada generasi muslim, dengan demikian pemahaman al-quran di tingka para intlektual muslim haruslah memiliki perangkat metode penafsiran al-quran klasik, dengan tujuan sebagai perangkat menguak kembali makna obyektif dan asal ayat tertentu dalam al-qur’an.
Dalam kisah-kisah qur’an terdapat lapangan pendidikan yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka dengan bekal kependidikan dari kisah-kisah nabi, berita-berita tentang umat terdahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal ihwal bangsa-bangsa.
Sebagaiman yang dikatakan Taufik Adnan Amal bahwa dalam memahami Al-quran diperlukan pemahaman yang mendalam dan metodologi yang sistematis, untuk menghindari penafsiran yang sewenang-wenang, seperti, dalam fenafsiran kisah-kisah dalam al-qur’an, diperlukan penafsiran tekstual maupun kontekstual, perlu dipahami sebab terjadinya kisah-kisah, asbabunuzul kisah al-quran, dalam memahami itu tidak cukup dengan cara teks harfiah saja dengan tanpa menyertakan konteks. Sosio histori teks dalam menafsirkan qasas dimana, kapan dan mengapa qasas itu lahir. Atas dasr itu maka diperlukan juga penafsiran kontekstual yang sistematis dan menyeluruh.

C.Kesimpulan
a)Kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang ada di dalamnya. Ia bagian dari ayat-ayat yang di turunkan dari sisi yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
b)Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli yaitu tujuan keagamaan yang menyiratkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan.
c)Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara kronologis dan tidak memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan tentang berlakunya hukum Allah dalam kehidupan sosial serta pengaruhnya baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
d)Sebagian kisah dalam Al-Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan berarti menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkap kisah-kisah dalam Al-Qur’an, dalam kerangka pengetahuan modern.
D.Dafta pusta
Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A. 2009. Hermeneutika dan pengembangan ulumul Qur’an, Yogyakarta: Psantren Nawesea Press
Dr. H. U. Syafrudin, 2009. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual (Usaha Memahami Kembali Pesan Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Dalam Manna’ Khalidkhalil Al-Qattan 2002, Studi Ilmu-Ulmu Qur’an, (Jakarta: Halim Jaya)
www. http://indiaonech.co.cc/1_6_Kisah-Dalam-Al-Qur-an.html
Departemen Agama RI, 2005. Alquran dan Terjemah Al-jumanatul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur, Bandung: Jumanatul Al-ART (J-ART)
Muhammud Syafiq Ghirbal, 1965. Al-Mausu’ah al-Arbiyyah al-Muyassarah (Cet. I; Franklin: Dar al-Qalam wa Mu’assasah.
Dr, Aksin Wijaya, 2009. Arah Baru Studi Islam Ulumul Al-Qur’an (Memburu Pesan Tuhan Dibalik Fenomena Budaya), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.